sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

PERINGATI HARI BURUH, JBM TUNTUT PEMERINTAH SERIUS LINDUNGI BURUH MIGRAN

4 min read

Jaringan Buruh Migran (JBM) adalah koalisi 28 organisasi yang terdiri dari serikat buruh migran yang ada di dalam dan di luar negeri, serta organisasi yang peduli terhadap hak-hak PMI. JBM yang dahulu bernama JARI PPTKILN semenjak tahun 2010 telah aktif melakukan pengawalan terhadap proses pembahasan revisi UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia hingga UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia No. 18 Tahun 2017 telah disahkan. JBM turut mengawal pembentukan aturan turunan UU PPMI dan implementasinya guna mendorong pemenuhan pelindungan kepada PMI.

Setelah penerbitan Undang-Undang Omnibus Law No. 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja, sejumlah pasal dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) telah direvisi, yaitu pasal 1 angka 16, 51, 53, 57 dan ditambah 89a. Pasal-pasal yang direvisi mengatur ketentuan tentang: Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI), kementerian Pemberi izin, izin kantor cabang P3MI, mekanisme perpanjangan izin, dan penyesuaian dengan perizinan berusaha.

Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko yang merupakan aturan turunan dari UU Ciptaker, ternyata  perubahannya tidak hanya ketentuan dari 5 pasal yang telah direvisi, tetapi juga menambahkan mekanisme sanksi administratif dan melemahkan sanksi pidana yang telah diatur dalam UU PPMI.

Sekjen SBMI Bobi Anwar Ma’arif, menyayangkan adanya pelemahan sanksi pidana yang diatur UU PPMI menjadi sanksi administratif (pasal 535 PP No. 5/2021).  Pasal dari UU PPMI yang berdampak akibat UU Ciker diantaranya adalah:

  1. Pasal 82 huruf a dan b, yaitu menempatkan PMI pada jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja, dan sengaja menempatkan CPMI untuk jabatan yang bertentangan dengan norma kesusilaan atau peraturan perundang undangan;
  2. Pasal 86 huruf b dan c, yaitu menempatkan Calon PMI ke negara tertentu yang dinyatakan tertutup, dan menempatkan Pekerja Migran Indonesia tanpa SIP2MI;
  3. Pasal-pasal pidana penempatan pada poin 1 dan 2 diubah, dilemahkan dari sanksi pidana menjadi sanksi administratif berupa penghentian sementara;
  4. Walaupun pemerintah telah menerbitkan aturan turunan PP Pelaksanaan Pelindungan PMI, namun hingga saat ini PP tentang Pelindungan ABK atau Pelaut Awak Kapal belum diterbitkan. Padahal mandat pasal 64 UU PPMI itu seharusnya telah diterbitkan pada 22 November 2019 lalu. Diharapkan, aturan turunan lainnya segera diselesaikan dengan melibatkan serikat buruh dan organisasi yang peduli PMI.

Seknas JBM Savitri Wisnu menyayangkan dengan aturan turunan Ciker yakni PP No. 5/2021 sangat berdampak pada isi aturan turunan UU PPMI yakni PP Pelindungan PMI No. 59/2021. Misalnya didalam pasal 86 PP No 5/2021 disebutkan bahwa beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku kejahatan hanya dikenai sanksi administratif.

Padahal dalam pasal 82(2) UU 18/2017 Tentang Pelindungan PMI sangat jelas disebutkan bahwa bagi perorangan yang melakukan pelanggaran akan dikenai sanksi pidana. Dengan diturunkannya derajat sanksi dari pidana kepada administratif dalam PP Pelindungan yang merupakan aturan turunan UU PPMI sangat berdampak pada meningkatnya kasus perdagangan orang.

Selain itu, dengan dualisme perbedaan sanksi pada objek yang sama dapat menimbulkan multitafsir dan penegakan hukum yang tidak optimal untuk mewujudkan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia.

Pengacara publik LBH Jakarta Ayu Eza berpendapat bahwa permasalahan yang ditimbulkan oleh Omnibus Law UU Cipta Kerja semakin memperbesar ketidakadilan dan kesetaraan khususnya bagi Para Pekerja Migran, khususnya pada permasalahan pengawasan. Bagaimana tidak, dengan adanya UU Cipta Kerja dan kini ditambah lagi dengan adanya PP No. 5/ 2021 nyatanya justru semakin mempersempit peran serta masyarakat dalam melakukan pengawasan.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama sebelum adanya UU Cipta Kerja telah banyak permasalahan terkait penerbitan izin P3MI yang berujung pada praktik-praktik pelanggaran hak Pekerja Migran dengan minimnya kepastian hukum atas peran pengawasan masyarakat yang ada kini dan dipermudahnya penerbitan izin P3MI berpotensi besar memperkeruh permasalahan perlindungan Perkerja Migran yang telah ada saat ini.

Aktivis KSBSI Yatini Sulistyowati menyambut baik inisiatif negara untuk menambah jaminan sosial bagi PMI seperti yang tertuang pada  PP no. 59/ 2021 pasal 10 terkait dengan Jaminan Sosial kepada PMI. PP ini menyebutkan bahwa Jaminan Sosial untuk PMI dilakukan melalui sistem Jaminan Sosial Nasional meliputi  Jaminan Kesehatan dan Jaminan Ketenagakerjaan.

Namun, harapannya dengan kehadiran PP ini, dapat mempermudah PMI dalam menerima manfaatnya. Mengingat selama ini, PMI sendiri masih minim dalam menerima manfaat program jamsos PMI terhadap PMI itu sendiri. Total premi yg dibayarkan PMI tidak sebanding dengan kecilnya klaim yg diterima PMI.

Berdasarkan data yang dihimpun Agustus 2017-Januari 2021, penerimaan iuran dari PMI sebesar Rp. 263,48 M sedangkan claim hanya sebesar 21, 37 M,  hanya 0,081%  (CNN Indonesia: 29/02/2021). Hal ini akibat persyaratan yang sangat sulit untuk dipenuhi. PMI masih dijadikan lahan bisnis insurance oleh negara, sementara manfaatnya belum banyak diterima PMI. Program JKK dan JKM harus menjadi tanggungan negara, karena PMI bekerja keluar negeri karena keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri dan sudah menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi warganya sebagaimana tenaga kerja dalam negeri program JKK dan JKm menjadi tangggungan Pemberi kerja.

Aktivis Solidaritas Perempuan, Putri berpendapat bahwa hingga hari ini negara masih belum memperlihatkan tanggung jawabnya untuk mewujudkan sistem perlindungan bagi perempuan buruh migran. Usaha keras buruh migran dan masyarakat sipil yang tercantum dalam UU PPMI justru dikacaukan begitu saja melalui pengundangan UU Cipta Kerja.

Dengan UU Cipta Kerja negara berupaya mengendorkan sistem pengawasan terhadap P3MI, yang mana selama ini menjadi aktor utama dalam melanggar hak buruh migran terutama perempuan. Tentu hadirnya PP No. 59/ 2021 masih belum bisa menyelesaikan penindasan perempuan buruh migran selama pengawasan terhadap aktor utama yang melanggar hak buruh migran justru dikendorkan secara sistemik.

Apalagi  pengaturan mengenai perlindungan masih belum diatur dan justru dimandatkan ke peraturan lainnya. Selain itu, situasi ini juga semakin memperparah penindasan terhadap perempuan buruh migran melalui kebijakan diskriminatif Kepmenaker 260/2015 yang hingga saat ini masih dipertahankan negara tanpa mau menyelesaikan akar permasalahannnya.

Pada peringatan Hari Buruh Internasional harus menjadi satu peringatan bersama bahwa kita perlu memperkuat gerakan kita bersama perempuan buruh migran dalam merebut hak-hak perlindungan yang selama ini kita perjuangkan.

Jakarta, 01 Mei 2021

JARINGAN BURUH MIGRAN (JBM)

SBMI, KSPI, KSBSI, KSPSI, Aspek Indonesia, FSPSI Reformasi, ASETUC, IMWU Belanda, KOTKIHO,  BMI SA, Serantau Malaysia, UNIMIG, HRWG, JALA PRT, LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, ADBMI Lombok, LBH FAS, Migrant Institute, PBHI Jakarta, Solidaritas Perempuan, INFEST Yogyakarta, TURC, Seruni Banyumas, PBH-BM, Migrant Aid, Institute for Ecosoc Right

Narahubung : Bobi Alwy: 0852-8300-6797, Savitri Wisnuwardhani: 0821-24714978, Yatini: 0853-1230-3209, Ayu Eza: 0821-1134-0222, Putri Fahimatul : 0857-8593-4496

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *