sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

KETERANGAN LENGKAP DARI HENRY SIMARMATA AHLI PIHAK TERKAIT SBMI

6 min read

Salam merdeka. Salam sehat.
Keterangan yang saya sampaikan dimintakan oleh Pihak Terkait,
dalam hal ini Serikat Buruh Migran Indonesia.
Secara khusus, saya mengambil perhatian mengenai Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a mengenai bagian ketentuan pidana dalam kaitannya dengan perlindungan pekerja migran.
Secara khusus, saya melihat, membaca dari resume yang sudah saya dapatkan dari website Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan saya mendapati bahwa Permohonan ini dari Pihak Pemohon ada beberapa hal yang menurut saya mengalami pembingungan dan terkesan seadanya. Namun, yang saya setuju terhadap Pihak Pemohon adalah Permohonan ini memperjelas kedudukan hukum mereka sebagai pihak konstitusional, terutama dalam memperjelas ketentuan pidana dalam keseluruhan undang-undang yang dimaksud dan ini menjadi sangat penting bagi pembahasan saya secara keseluruhan.
Keterangan saya, saya bagi menjadi tiga.

Yang pertama, bagaimana Pasal 82 dan 85 harus diartikan dalam perlindungan pekerja migran Indonesia?

Yang kedua, bagaimana hukum internasional mendukung materi muatan dan dampak ekstrateritorial dari pasal yang dimaksud?

Yang ketiga, mengapa Permohonan dari Pihak Pemohon tidak
mencukupi untuk dapat membatalkan frasa yang dimaksud?

Pertama, bagaimana Pasal 82 dan 85 harus diartikan dalam Perlindungan Pekerja Migran Indonesia? Yang Mulia, Pasal 82 dan 85 ini merupakan bagian yang amat penting dalam norma perlindungan yang selama ini menjadi pondasi konstitusional bagi negara maupun warga negara dalam mewujudkan perlindungan tersebut.

Kita mempunyai dua dasar penting. Yang pertama, ketentuan dalam Pasal 82 dan 85 secara presisi membedakan kedudukan konstitusional dan kedudukan properti. Ketentuan ini memakai kerangka pidana yang secara sah dimaksudkan hendak melindungi Warga Negara Indonesia, dalam hal ini calon pekerja dan pekerja efektif. Perlindungan ini menegaskan kedudukan konstitusional mereka dan ini tentu saja melampaui pemahaman yang terbatas mengenai soal properti. Jadi, implikasinya adalah Pasal 82 dan 85 ini perlindungan terhadap orangnya. Dengan ini, saya menyebut soal adagium bahwa warga negara mempunyai hak untuk memilih pemimpin mereka, tapi
properti tidak. Kedua Pasal 82 dan 85 ini merupakan, menegaskan tanggung
jawab negara. Saya rumuskan saya artikan di sini sebagai penguasaan negara. Saya mengambil dari putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perkara ketenagalistrikan. Hak menguasai negara bukan dalam arti memiliki, tapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan sesuatu yang konsisten kita dapati dalam keseluruhan undang-undang yang dimaksud. Pasal 82 dan 85 hendak mengatur suatu hubungan
bisnis, dimana calon dan efektif pekerja migran ada di dalamnya dan situasi komersial yang mereka hidupi, sebelum, selama, dan sesudah suatu status pekerjaan itu berada dan ini sangat konsisten dengan maksud dan tujuan legislasi ini.

Pekerja migran ada dalam posisi lemah dan karena itu mereka selayaknya mendapatkan perlindungan. Pasal 80 sampai Pasal 87 dalam ketentuan pidana memang ditujukan terhadap proses yang dilakukan oleh pelaku penempatan, baik itu orang perorangan, dan pejabat yang mempunyai kemampuan efektif penempatan. Negara melakukan pengaturan secukupnya, termasuk dengan pemberlakuan pidana dengan ketentuan yang dimaksud. Pengaturan ini termasuk menentukan perihal perjanjian kerja dan dampak yang ditimbulkan di lapangan nasional maupun transnasional.

Kedua, bagian hukum internasional mendukung bagaimana hukum internasional mendukung materi muatan dan nampak ekstrateritorial dari pasal yang dimaksud?
Yang Mulia Majelis Hakim, Pasal 82 dan Pasal 85 dalam keseluruhan posisi dan efek undang-undang tersebut, mempunyai posisi penting di lapangan internasional. Jadi, bukan hanya di lapangan nasional. Hal ini dijelaskan sebagai berikut.
Posisi Pasal 82 dan Pasal 85 dalam lapangan internasional. Undang-undang ini secara eksplisit menyebut memasukkan, mengintegrasikan konferensi internasional mengenai perlindungan hakhak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya. Termasuk frasa yang diajukan oleh Pemohon, sebetulnya secara formal dan material adalah wujud dari penegakan enforcement dari perlindungan tersebut.

Dalam suatu lingkungan industri dan ekonomi, termasuk yang bersifat transnasional dan multinasional, penegakan oleh negara menjadi bagian penting dan sepenuhnya menjadi tugas pemerintah yang mengemban tugas tersebut. Dalam lingkungan tersebut, calon dan efektif pekerja migran ada dalam suatu hubungan atau situasi dalam lingkungan yang dimaksud. Kita tidak hanya memahami orang ketika ada di Indonesia, tetapi ketika sudah bekerja di mana pun mereka berada.

Penegakan perlindungan warga negara terhadap pekerja migran dan keluarganya perlu secara cermat menempatkan undang-undang a quo dalam konteks nasional, sekaligus transnasional. Lapangan ini menjelaskan posisi pekerja migran dan keluarganya bahwa mereka ada dalam konteks yang melampaui nasional.

Kedua, mengenai kewajiban ekstrateritorial Negara Indonesia. Pasal 82 dan Pasal 85 menjadi perwujudan kewajiban ekstrateritorial Negara Indonesia. Hal ini diartikan bahwa kedua pasal tersebut menjadi wujud tanggung jawab negara yang saya artikan, rumuskan ekstrateritorial, jadi berasal dari nasional menjangkau internasional atau transnasional.

Perkenankan saya menyatakan kembali posisi Mahkamah Konstitusi dalam mengartikan konteks ini, yaitu Putusan dalam Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. “Secara umum perjanjian internasional yang dianggap penting adalah perjanjian-perjanjian yang dimensi politik yang bersangkut-paut dengan kedaulatan negara. Di antaranya perjanjian-perjanjian yang mempengaruhi batas wilayah negara yang mempengaruhi beban keuangan negara yang harus
ditanggung oleh rakyat.”

Bahwa pada era global dewasa ini, secara empirik setiap negara adalah bagian dari masyarakat internasional yang hidup saling bergantung satu sama lain. Dengan demikian, Indonesia melibatkan diri dalam perjanjian internasional adalah bagian dari upaya mencapai tujuan bernegara yang pemenuhannya berdasarkan konstitusi yang diamanatkan kepada Pemerintah Negara Indonesia. Adanya dua kebutuhan hukum yang sama-sama harus dipenuhi, di satu pihak tidak mungkin Indonesia mengisolasi diri dari pergaulan internasional dengan mengabaikan ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam pergaulan internasional. Di lain pihak, kebutuhan itu tetap menegaskan keberadaan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat dalam kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat internasional.

Putusan Mahkamah ini penting untuk menunjukkan bahwa lapangan internasional harus menjadi perwujudan kewajiban konstitusi yang sedang dijalankan oleh Pemerintah Negara Indonesia, dalam hal ini Pasal 82 dan Pasal 85. Hal ini tentu saja menjadi tanggung jawab Negara Indonesia bukan hanya pihak Indonesia, tapi non-Indonesia yang menurut saya jika diartikan dan diterapkan secara tepat dan proporsional, Pasal 82 dan Pasal 85 justru membantu Pemohon dan Negara Indonesia untuk mewujudkan perlindungan diri secara internasional.

Kewajiban ekstrateritorial ini sejalan dengan konferensi yang dimaksud, yang dinyatakan dalam undang-undang a quo mengenai norma home (negara asal) dan host (negara penerima). Inilah karakter umum, karakter penting yang diatribusikan pada kata migran.

Kewajiban ini juga sekarang ini sedang dibahas di Dewan Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam hal yang dirumuskan sebagai legally binding instrument to regulate in international human rights law, the activities of transnational corporation and other business enterprises. Conduct dari entitas komersial di mana pun mereka berasal yang berada di lingkungan internasional. Mengenai inilah ketentuan mengenai home and host menjadi sangat relevan dan Pasal 82 dan Pasal 85 secara tepat merumuskan tujuan pasal ini dalam hal perlindungan (liability).

Diterjemahkan sebagai posisi dan beban hukum mengharuskan mengatur para pihak, dimana suatu perlindungan ditetapkan. Dalam lingkungan komersial yang saling berinteraksi, negara perlu menentukan posisi dan beban hukum pihak komersial tersebut, dengan ini Pasal 82, 85. Ketentuan mengenai home and host menentukan bagaimana kewajiban extra territorial itu diwujudkan. Praktik reciprocity, kesalingan yang terkandung dalam home and host ini sebetulnya menjadi diwujudkan dalam Pasal 82 dan Pasal 85.

Dalam perlindungan pekerja migran, negara asal dan negara penerima, sama-sama bertanggung jawab atas perlindungan tersebut. Pada akhirnya ketentuan home and host akan menempatkan negara dalam tanggung jawab yang sama dalam perlindungan, dalam lapangan internasional. Ketentuan ini home and host maupun liability tidak heran diambil olah, diambil sebagai proses lanjutan dalam regulasi mengenai pihak-pihak komersial di lapangan internasional.

Ketiga, terakhir. Mengapa permohonan dari Pihak Pemohon tidak mencukupi untuk dapat membatalkan frasa yang dimaksud? Pemohon mendalilkan permohonan, terutama dalam hal implementasi atau pengerjaan di lapangan dari Pasal 82 dan Pasal 85, namun tidak mengarahkan maksud dan tujuan mereka mengenai norma yang ada dan/atau dinyatakan oleh pasal yang dimaksud. Saya menilai ini sebagai tidak mencukupi atas 2 alasan dengan merujuk bahasan yang saya nyatakan sebelumnya.

Pertama, dari sudut pandang pekerja migran, Pemohon mengaburkan kewajiban negara dalam perlindungan terhadap pekerja migran sebagai warga negara di lapangan nasional maupun transnasional. Saya membedakan tadi soal warga negara dan property.

Yang kedua, tidak ada situasi luar biasa (exigent) yang dapat menjadi alasan perubahan dari frasa yang dimohonkan. Demikian keterangan yang saya sampaikan, terima kasih. Jakarta, 31 Agustus 2020.

Hormat saya, Henry Thomas Simarmata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *