sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

SBMI MINTA KEJELASAN KEBIJAKAN MAHKAMAH AGUNG TERKAIT PARALEGAL & PENDAMPING

2 min read

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia Hariyanto mengkritik tidak konsistennya Mahkamah Agung terkait dengan paralegal dan pendamping didalam persidangan. Hal itu disampaikannya dalam diskusi Konsultasi Publik Permenkumham Terkait Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh PBHI di Semarang.

Ketidak konsistenannya itu antara lain:

  1. Pasal 11 dalam peraturan itu berbunyi, Paralegal dapat memberikan Bantuan Hukum secara litigasi dan nonlitigasi setelah terdaftar pada Pemberi Bantuan Hukum dan mendapatkan sertifikat pelatihan Paralegal tingkat dasar. Sementara dalam Pasal 12 terdiri dari tiga ayat. Ayat pertama menyatakan, pemberian bantuan hukum secara litigasi oleh Paralegal dilakukan dalam bentuk pendampingan advokat pada lingkup pemberi bantuan hukum yang sama.
  2. Pasal 1 Perma 3 tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, Pendamping adalah seseorang atau kelompok atau organisasi yang dipercaya dan/atau memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk mendampingi Perempuan Berhadapan dengan Hukum dengan tujuan membuat perempuan merasa aman dan nyaman dalam memberikan keterangan selama proses peradilan berlangsung. Pasal 9 huruf a dan b, berbunyi ” Apabila Perempuan Berhadapan dengan Hukum mengalami hambatan fisik dan psikis sehingga membutuhkan pendampingan maka: a. Hakim dapat menyarankan kepada Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk menghadirkan Pendamping; dan  b. Hakim dapat mengabulkan permintaan Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk menghadirkan Pendamping.

Menurut pengalaman pendampingan penanganan kasus yang dialami olehnya, paralegal dalam satu hal berfungsi sebagai pendamping.

“Meskipun demikian, kami sebagai paralegal juga ngerti, tidak ingin mengambil alih kewenangan para pengacara,” dalihnya pada forum diskusi.

Selain itu, Hariyanto juga mengkritik BPHN yang melakukan praktik diskriminiasi dalam pemberian bantuan hukum, yaitu hanya untuk dana bantuan hukum  yang bersifat litigasi, padahal menurut pengalaman pegiat Serikat Buruh Migran Indonesia, penyelsaian kasus buruh migran 90% diselesaikan melalui proses non litigasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *