sbmi

Memperjuangkan Keadilan Bagi Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Sengkarut Pengiriman ABK ke Luar Negeri: Ada yang Meninggal, Jenazah Ditaruh Difreezer Dicampur Ikan

6 min read

AKURAT.CO, * Selain dieksploitasi habis-habisan seperti yang dialami oleh Z, sebagian dari mereka tidak menerima semua gaji yang seharusnya, komunikasi dengan dunia luar dibatasi, belum lagi soal makanan.
* Selain dari kesaksian 34 ABK, adanya kerja paksa, penganiayaan, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya, juga diperkuat oleh hasil analisis dokumentasi, dan petunjuk lainnya.
* Sebelum ada sistem yang baik, Maizidah meminta pengiriman ABK untuk dipekerjakan di kapal asing diberhentikan demi melindungi ABK Indonesia.

Hari itu, Z benar-benar lelah. Tetapi anak buah kapal berusia 24 tahun itu tetap dipaksa kapten kapal untuk bekerja. Rupanya Z ketahuan bosnya. Bos mendatanginya dan bertanya: “Apa masalah anda?”

Z pun bertanya kembali kepada bosnya. “Apakah Anda tidak tahu aturannya, saya juga perlu istirahat dan makan, apa salah saya?”

Peristiwa itu hanyalah satu potret pelanggaran hak asasi manusia yang dialami ABK asal Indonesia yang dipekerjakan di luar negeri.

Koordinator Departemen Sosialisasi dan Pendidikan Serikat Buruh Migran Indonesia Maizidah Salas ketika saya temui di Jakarta siang itu menjelaskan ada banyak bentuk pelanggaran yang dialami ABK.

Selain dieksploitasi habis-habisan seperti yang dialami oleh Z, sebagian dari mereka tidak menerima semua gaji yang seharusnya, komunikasi dengan dunia luar dibatasi, belum lagi soal makanan.

“Ada pelanggaran-pelanggaran salah satu yang disampaikan, mereka dipaksa makan daging babi di atas kapal. Dan pihak perusahaan tidak mau tahu, jadi kalau misalnya lauknya babi ya mau nggak mau mereka dipaksa untuk makan. Kalau tidak mau makan babi mereka hanya makan nasi,” kata Maizidah.

Berbagai pelanggaran tersebut terungkap dalam penelitian yang dilakukan SBMI bekerjasama dengan Greenpeace Asia Tenggara. Dalam laporan berjudul “Ketika Laut Menjerat: Perjalanan Menuju Perbudakan Modern di Laut Lepas” tergambar betapa miris kehidupan ABK, terutama yang berasal dari Indonesia dan Filipina, yang bekerja di kapal penangkap ikan jarak jauh negara lain.

Sebanyak 34 ABK yang diwawancara berasal dari Sukabumi, Tasik, Pemalang, Pekalongan, Tegal, Cirebon, Jakarta, Medan, Lampung, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Timur.

Selain dari kesaksian 34 ABK, adanya kerja paksa, penganiayaan, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya, juga diperkuat oleh hasil analisis dokumentasi, dan petunjuk lainnya.

Sistem perekrutan calon anak buah kapal untuk dipekerjakan di luar negeri selama ini dikuasai para calo.

Para calo bergerilya ke daerah-daerah, terutama Tegal, Jawa Tengah, untuk mencari calon pelaut tanpa memberikan informasi yang memadai mengenai bagaimana persiapan menjadi pekerja migran.

Jaringan perekrut lebih sering menggunakan jalan pintas untuk mendapatkan calon ABK yaitu dengan mengiming-imingi gaji besar dan fasilitas terbaik, tetapi terlebih dahulu menghisap uang mereka dalam jumlah besar sebelum diberangkatkan.

“Apalagi kalau yang sampai ke Eropa. Itu mereka diiming-imingi gajinya USD, kemudian diiming-imingi bahwa akan dikerjakan di kapal pesiar yang mewah, dengan segala iming-iming surganya,” kata Maizidah.

Desakan ekonomi, kemiskinan, dan minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia di dalam negeri, ikut mengondisikan warga sulit menolak tawaran calo.

Maizidah menjelaskan daerah mana saja di Indonesia yang menjadi kantung-kantung asal ABK sulit dipetakan. Sebab, para calo beroperasi dimana saja yang penting bisa mendapatkan calon ABK.

Setelah bekerja, umumnya mereka baru menyadari telah tertipu.

Dalam penelusuran terhadap praktik perburuhan di kapal penangkap ikan milik asing, SBMI banyak menerima laporan ABK tidak menerima gaji selama bekerja. Umumnya ABK tidak bisa menceritakan kondisinya karena dilarang berkomunikasi dengan keluarga.

“Akibatnya, banyak keluarga ABK yang mengalami konflik dalam keluarga karena tidak ada komunikasi ataupun tidak ada pengiriman hasil kerjanya, yang terjadi adalah sampai berdampak pada perceraian,” kata Maizidah.

ABK baru mendapatkan hak mereka setelah selesai masa kerja, itu pun umumnya hanya setengah gaji.

Tragis, sesampai di Indonesia, agensi maupun perusahaan lepas tangan, tidak mau melunasi kekurangan gaji yang menjadi hak ABK.

Sebagaimana pengalaman yang diceritakan oleh IU dalam tulisan bagian pertama, selama melaut, dia tidak hanya dipekerjakan untuk satu kapal, tetapi dipindah-pindah ke kapal lain yang masih satu bendera. Informasi soal ini sebelumnya sama sekali tak diberitahukan oleh calo atau agen yang merekrut.

Umumnya para ABK tidak bisa berbuat banyak meskipun mereka mendapatkan perlakuan tidak manusiawi. Sebab, posisi mereka sangat jauh dari tanah kelahiran dan serba terbatas.

Mereka tidak bisa mengontak keluarga di kampung halaman karena tidak ada sinyal di tengah laut. Kesempatan untuk itu biasanya diperoleh ketika kapal bersandar, itu pun harus sembunyi-sembunyi.

“Karena bersandar pun mereka tidak boleh memegang handphone,” kata Maizidah.

Temuan lain dalam penelusuran perburuhan ABK selama bekerja, telepon seluler sebagian dari mereka ada yang dirampas dan dibuang ke laut, terutama kalau ketahuan mendokumentasikan peristiwa yang terjadi di atas kapal.

“Ada beberapa kawan kita yang mencoba untuk memvideo saat temannya sedang disiksa, tetapi ketahuan, lalu HP dirampas dan dibuang ke laut,” kata Maizidah.

Sebuah video yang luput dari penyitaan kapten kapal menggambarkan perlakuan terhadap seorang ABK yang meninggal dunia.

“Jadi karena sudah busuk di kapal akhirnya dibuang. Ada yang ditaruh difreezer dicampur ikan, nanti dikembalikan (ke negara asal) atau dia dipindahkan ke kapal yang akan bersandar,” kata dia.

Namun kasus seperti itu jarang terjadi. Umumnya, bila ABK meninggal, jenazah dipulangkan ke daerah asal. Keluarga almarhum diberi santunan oleh perusahaan.

Menurut Maizidah, penanganan terhadap buruh migran bukan sekedar perusahaan memberikan santunan kepada almarhum yang meninggal pada waktu bekerja, tetapi tanggung jawab perusahaan dan pemerintah melindungi pekerja dari pemberangkatan sampai pemulangan.

“Jadi jangan sampai mereka sudah jadi korban, sudah pulang, baru pihak perusahaan menyampaikan seperti itu tadi,” kata Maizidah.

Sejak Januari 2019, SBMI sudah melaporkan 55 kasus ABK yang dipekerjakan di 16 kapal milik 13 perusahaan ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

Tetapi sampai akhir tahun ini, belum satupun yang ditindaklanjuti.

Menurut Maizidah persoalan ABK amat abu-abu. Bahkan, lembaga-lembaga pemerintah masih saling lempar.

“Ketika dilaporkan ke kemenaker (Kementerian Ketenagakerjaan) alasannya bahwa ini kerjanya bukan di wilayah Indonesia, ini adalah buruh migran. Nah kemudian kemenaker lempar ke BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), kembali lagi karena ini di sektor kelautan, ini bukan ranah BNP2TKI, tapi lebih ke kemenlu (Kementerian Luar Negeri) dan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), dan itu seterusnya. Jadi saling melempar yang akhirnya teman-teman ABK ini mentok,” kata Maizidah.

Itu sebabnya, SBMI berkali-kali mendesak pemerintah untuk membuat aturan turunan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

“Selalu dari Kementerian Ketenagakerjaan bilang bahwa ini adalah kerja lintas kementerian, yang mana semua kementerian itu masih saling menjengkel, masih saling ngeblock, dan seterusnya. Jadi sampai saat ini nasib pekerja migran terutama sektor ABK masih belum jelas,” kata Maizidah.

SBMI menantikan aturan turunan itu keluar. SBMI ingin melihat sejauhmana pemerintah memiliki inisiatif untuk melakukan upaya-upaya perlindungan terhadap ABK asal Indonesia.

“Kuncinya kalau negara ini memang benar-benar akan melindungi warganya dalam hal ini ABK yang menjadi pekerja migran, harusnya aturan turunan ini segera dikeluarkan dan diwujudkan, UU Nomor 18 Tahun 2017 juga harusnya sudah segera dilaksanakan dengan baik,” kata dia.

Menurut Maizidah seharusnya Presiden Joko Widodo juga turun tangan untuk memastikan lembaga mana yang harus menjadi leading sector.

Selama belum ada mekanisme atau belum ada payung hukum yang jelas, sementara calo-calo terus bergerak menawarkan lowongan pekerjaan, warga Indonesia akan terus menerus menjadi korban eksploitasi.

“Itu harapannya Pak Jokowi harus turun tangan mengatasi persoalan tentang ABK ini. Kemudian harapan kedua ABK harus secepatnya memiliki payung hukum yang melindungi ABK dan keluarga tentunya,” ujarnya.

Menurut Maizidah seharusnya Kementerian Ketenagakerjaan menjadi leading sector.

“Ya ini kita lihat pemerintah belum melihat persoalan ABK adalah persoalan yang serius. Mereka belum melihat bahwa ini warga negara yang harus dilindungi. Dan pemerintah sendiri masih tarik ulur untuk melindungi ABK. Sehingga yang terjadi itu ya korban ABK itu selalu dilempar sana sini karena bukan menjadi kewenangan satu kementerian,” ujarnya.

Selain segera menerbitkan peraturan, pemerintah diminta menyinergikan layanan satu pintu supaya Indonesia mempunyai data valid tentang jumlah ABK yang dipekerjakan di luar negeri.

“Nah alat kerja seperti ini misalkan dalam bentuk aplikasi, misalnya salah satunya tentang bagaimana menyebarkan sebuah informasi tentang lowongan pekerjaan, informasi tentang negara-negara mana yang memiliki perlindungan terhadap pekerja migran, termasuk data seberapa banyak yang masuk dan bisa diolah oleh semua lembaga. Jadi data ini akan menjadi sinkron dan data ini bisa terintegrasi juga,” kata Maizidah.

Selama ini, kata Maizidah, Kementerian Ketenagakerjaan, BNP2TKI, sampai Kementerian Luar Negeri punya sistem masing-masing tapi tidak terintegrasi.

“Jadi terlalu banyak inisiatif yang sudah dilakukan, tapi nggak terkoordinasi, nggak tepat sasaran juga. Jadi harapannya ke depan ada alat kerja bersama yang bisa terintegrasi dan efektif dan bisa dipakai oleh semua lembaga layanan pusat sampai ke desa,” katanya.

Maizidah mengungkapkan sampai sejauh ini belum ada satu pun lembaga di Indonesia yang memiliki data ABK yang dipekerjakan di luar negeri.

“Ini juga masalah yang cukup serius dan cukup besar karena kalau kita bicara data atau mempertanyakan data kepada BNP2TKI, mereka tidak punya, kepada Kementerian Ketenagakerjaan mereka tidak punya, kepada kemenlu mereka tidak punya,” kata Maizidah.

“SBMI sendiri kita memiliki data dari teman-teman yang melapor kepada SBMI,” Maizidah menambahkan.

Itu sebabnya, sebelum ada sistem yang baik, Maizidah meminta pengiriman ABK untuk dipekerjakan di kapal asing diberhentikan demi melindungi ABK Indonesia. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *